Selamatkan Moral Indonesia dengan UU Pornografi
dakwatuna.com - Benarkah RUU Pornografi diskriminatif? Anggapan itu dibantah. Pasalnya, RUU Pornografi telah membuat pengecualian. RUU Pornografi akan mengkriminalisasi pakaian adat, misalnya, dinilai Sekretaris Jenderal Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia, Inke Maris, sebagai pandangan keliru.
”Orang yang memakai baju bodo maupun orang berpakaian adat Papua tidak dilarang,” katanya. Inke mengatakan kata kunci dari definisi pornografi adalah ”materi seksualitas yang dibuat oleh manusia”. Karena itu, Inke Maris meminta masyarakat tak khawatir secara berlebihan terhadap RUU Pornografi. ”Anak-anak harus dilindungi dari pornografi karena membahayakan perkembangan jiwa dan masa depan mereka,” katanya.
ASA Indonesia pernah menyurvei 1.700 anak-anak usia 8-12 tahun di Jabotabek pada 2006. Hasilnya, 80 persen sudah mengenal pornografi. ”Saya 20 tahun tinggal di Eropa dan Amerika, tapi di sana materi pornografi hanya bisa didapat di tempat khusus. Di sini, VCD/DVD dan komik porno dijual bebas. Kita lebih liberal.”Penolak RUU Pornografi memandang RUU itu mendiskriminasi berdasarkan agama, status sosial, warna kulit, dan jenis kelamin. Mereka menilai RUU Pornografi bertentangan dengan Deklarasi HAM PBB dan UUD 1945.
Kendati RUU Pornografi jelas memuat pengecualian, kesalahpahaman tetap muncul. Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Bali, Al Purwa, mengatakan RUU Pornografi melarang orang berbikini dan menari lenggak-lenggok. ”Kalau RUU Pornografi diundangkan, habislah sudah dunia kepariwisataan, ” katanya.
Direktur Eksekutif Institut Perempuan, Valentine Sagala, juga menilai RUU Pornografi menyeragamkan kultur, diskriminatif, dan mengkriminalisasi anak-anak dan perempuan. ”RUU Pornografi melanggar hak seseorang atas penguasaan seksualitasnya. ”
Anggota Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf, menilai penolak RUU Pornografi memiliki lima kekeliruan berpikir. Pertama, melupakan nilai-nilai agama yang diagungkan Pancasila. Sila pertama Pancasila, kata dia, jelas berarti mengagungkan aturan moral luhur yang diajarkan agama.
Kedua, melupakan amanat UUD 1945 yang menyatakan pendidikan nasional bertujuan meningkatkan iman, takwa, dan akhlak mulia dalam rangka pencerdasan bangsa. Ketiga, meremehkan upaya penyelamatan generasi muda dan anak-anak. ”Fakta menunjukkan siapa pun pelakunya, apa pun bentuk pornografi, yang paling dirugikan adalah remaja dan anak-anak.”
Keempat, belum siap berdemokrasi karena tidak menghormati proses pembahasan RUU tersebut. ”Panja sudah banyak bertoleransi mengurangi dan menyesuaikan RUU dengan aspirasi yang masuk, tapi seakan-akan RUU itu baru bagus kalau seluruh ide mereka diterima.”Kelima, lebih terinspirasi dan mewakili ide kebebasan Barat. ”Padahal, jelas-jelas telah gagal melindungi masyarakatnya dari bahaya pornografi.’ ‘
Pendukung RUU Pornografi bukan tak ada protes. Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, mengkritik Pasal 13 dan 14 yang dinilainya hanya mengatur pornografi, bukan menghapus. ”Kalau hanya mengatur, RUU ini tak akan menyelesaikan masalah.”
Karena, setiap kali diangkat ke permukaan masalah RUU Pornografi selalu menghasilkan pro-kontra, apalagi RUU ini sudah dibahas 10 tahun, DPR pun memutuskan tak menunda lagi. ”Pengesahan RUU ini tetap mengikuti jadwal,” kata Ketua Pansus RUU Pornografi, Balkan Kaplale, kemarin. (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar